Jangan Membatalkan Doa

Baca Tulisan Sebelumnya : Millionare Mindset

SETELAH mengikuti Millionaire Mindset Training di Australia itu, saya juga melanglang buana ke kota Gowa di India, Hongkong, Kota Kinabalu Malaysia dan Selandia baru dengan Sandy MacGregor dan School of Mind Sydney Australia. Semuanya saya bayar dengan modal terakhir, setelah menjual seluruh harta yang tersisa tapi masih kurang, saya pun mencari pinjaman sana-sini.

Kalau ditotal, ini adalah ratusan jam workshop dalam kelas. Semua itu tidak sekaligus. Dalam satu tahun, saya berangkat, rata-rata 7 hari workshop-nya. Tapi bahkan setelah itu pun, ternyata belum ada yang ‘klik’ dalam diri saya. Saya masih sama, masih ‘loser’ (pecundang). Tapi saya tak ingin kecil hati.

Dulu saya memang tak berilmu, setidaknya kini saya pecundang dengan sedikit ilmu. Jujur, setelah mengumpulkan semua pelajaran tersebut, saya tak bisa serta-merta mulai mempraktekannya. Believe system saya tertabrak-tabrak.

Baca : Otak Sama, Nasib Beda?

Nasib, kata mereka, kita yang menentukan? Sementara saya punya keyakinan, nasib ditentukan Tuhan. Tabrakan pemahaman ini belum bisa saya terima.

Tapi kalau saya tidak terima itu, artinya saya harus menerima kondisi saat itu, berutang dan hidup susah. Dan kalaupun saya kembali memulai sesuatu, akan terbawa ke putaran sama.

Saya sadar bahwa untuk memulai yang baru, saya harus mengubah believe system saya. Dalam sebuah sesi Millionaire Mindset, ada pelajaran tentang meng-cancel atau membatalkan doa. Jadi ada pelajaran tentang berpikir dan berdoa yang tidak boleh di cancel.

Contohnya, waktu itu saya diperintahkan untuk memohon agar diberikan Rp 1 miliar pada akhir bulan ini. Saya manut. “Ya Allah, saya minta 1 miliar di rekening saya akhir bulan ini,” ucap lidah saya.

Tapi meskipun lidah saya berucap seperti itu, hati kecil saya berkata lain. Apakah mungkin? Dari mana uangnya? Bagaimana caranya? Nah, rupanya keragu-raguan batin seperti itu bisa dikatakan seolah meng-cancel doa.

Dalam membuat sebuah permohonan, tidak boleh di cancel. Kita harus percaya utuh. Untuk setiap keraguan yang timbul di benak kita, artinya doa kita terbatalkan dengan sendirinya. Untuk itu kita perlu panjatkan lagi permohonannya, diulang lagi, begitu seterusnya.

Ribuan kali saya coba, ribuan kali pula saya cancel, believe system saya belum bisa terima. Masa’ sih? Kok, begitu doang, memang bisa? Dari mana caranya? Demikian keraguan dalam benak saya.

Dulu saya pernah bekerja untuk menutupi biaya hidup dan sebagian dari cicilan utang. Posisi saya sebagai Direktur business Advisor dari sebuah Investment Banking ternama, PT Refund Financindo (sekarang bernama PT Rekapital) di Jakarta. Kompensasi bulanannya cukup besar, tapi saya hanya kerja kontrak disitu selama 24 bulan, dari tahun 2000 sampai 2002.

Suatu hari, di tahun 2001,Sembilan bulan sebelum kontrak saya berakhir, saya sedang bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Saya pun meminta Fathur, anak kedua saya yang saat itu berusia 4 tahun untuk mengambilkan sepatu.

 “Mas, tolong ambilkan sepatu ayah yang hitam,” pinta saya.

Fathur hanya terdiam.

Saya ulangi sekali lagi, “Fathur kamu dengarkan, Ayah suruh apa?”

Dia tetap diam dan bahkan berjalan menjauh.

Saya pun memanggilnya dengan suara dan intonasi yang meninggi, tetapi dia hanya menunduk.

Emosi saya terpancing. Batin saya, ”Ini anak kok gak nurut sih?!”

Saya pun berjalan ke arahnya dengan langkah lebar. Wajah saya memancarkan amarah. Kemudian matanya menatap saya, tepat di mata saya, agak ketakutan ekspresinya.

Saya kaget, ‘Kok dia takut,’ batin saya.

Langsung saya berlutut, menyejajarkan matanya dengan mata saya. Setahu saya ini metode psikologi mendidik anak. Yaitu mata yang sejajar menunjukan kesetaraan dan kesederajatan, kalau posisi mata anak dibawah, sedangkan posisi mata orang tua diatas, ini menimbulkan sugesti bahwa posisi orang tua menjadi otoritatif dan si anak inferior.

Pada saat itu saya sadar bahwa posisi saya sedang marah dan posisi Fathur sedang ketakutan. Saya tahu itu tidak sehat. Maka sayapun menyejajarkan wajah saya dengan wajahnya, sehingga dia nyaman karena merasa sederajat.

Saya ubah ekspresi saya. Saya datarkan suara saya. “Tolong ambilkan sepatu Ayah, sayang,” pinta saya lembut.

Tiba-tiba kaki saya dipeluknya. Dari bahasa tubuhnya saat itu, saya menangkap bahwa dia tidak mengizinkan saya berangkat bekerja.

Kembali Saya terhenyak. Tadinya mau marah, tetapi sinyal yang diberikannya cukup kuat. Seakan dia berkata, ‘Jangan pergi, Yah! Ayah belum memberikan banyak rekening emosi ke Fathur.’

Ya, rekening emosi saya memang kurang kepada Fathur. Lama saya menatap wajahnya. Tiba-tiba saya putuskan, “Oke, ayah nggak bekerja hari ini, kamu mau apa sayang?”

 “Ajarin Mas Fathur naik sepeda roda dua, Yah… terus main layangan. Boleh?” pintanya dengan kepala memiringkan mata memelas. Melihat ekspresinya yang menggemaskan ini saya pun mengangguk.

Saya telepon Yola, sekretaris saya saat itu, “Tolong bilang ke Pak Rosan, saya nggak masuk hari ini, off dulu,” kata saya.

Seharian saya ajari Fathur naik sepeda roda dua. Sorenya kami bermain layangan. Saya rasa itu 7 jam yang sangat padat dan paling berkualitas. Malamnya, dia memijat-mijat sebagian tubuh saya. Nikmat sekali rasanya di hati. Tiada tara rasanya.

“Ah….. enak ya, berkumpul dengan orang yang kita cintai dan melakukan hal yang kita sukai, mendapatkan uang tak terhingga,” kata saya dalam hati.

Saat itu juga seperti ada bunyi ‘klik’ diotak saya.

Mendadak saya seperti mendengar suara sendiri. Katanya ingin punya anak sholeh, kok ngaji diajari orang lain, belajar sepeda diajari orang lain, belajar baca tulis sama orang lain, Bagaimana rekening emosi bisa tumbuh?

Bukannya dulu pernah bilang bahwa kalau bisa, setiap sel dari anak yang tumbuh, saya memiliki andil terbesar agar di kemudian hari tidak ada sesal?

Sementara faktanya, setiap hari sibuk. Pagi berangkat, anak belum bangun. Malam pulang, anak sudah tidur. Ketemu dikala weekend sudah kabur, capek ingin istirahat. Tahu-tahu, anak tumbuh membesar dan membesar tanpa ada kontribusi apapun dari saya. Saya terhenyak.

Lalu saya putuskan seketika itu juga tanpa pikir panjang. Cikar kanan, vaya condios! Kita Bakar Kapal! Saya mengambil istilah ini untuk mengandaikan tindakan seorang panglima perang, Jabal Tariq sewaktu menaklukan Gibraltar. Pasukannya kalah jumlah, ada nyali ciut mau mundur. Jabal Tariq memerintahkan bakar kapal, sehingga pasukannya tidak ada pilihan kecuali maju berperang.

Keesokan harinya saya membuat surat resign tertuju pada partner saya yang sekaligus owner perusahaan tersebut, Rosan Roslani. Saya mendadak percaya 100% bahwa uang akan datang ke saya tanpa usaha banyak.

Dan, saya tidak pernah meng-cancel doa itu. Saya sepenuhnya memercayakan permohonan itu kepada Tuhan. Entah mengapa yang jelas saya percaya dan semangat sekali.

Hari berlalu tanpa ada yang istimewa. Herannya orang modern seperti saya tidak banyak tanya-tanya. Enjoy total. Benar-benar seperti orang aneh. Nggak, mikir blass. Sore itu saya menyiram bunga, diluar dari kebiasaan. Sebelum itu saya tidak pernah siram bunga.

Tahu-tahu, sebuah motor menghampiri. Pengemudinya menggunakan helm berkaca gelap. Saya tidak tahu siapa dia.

 “Sore bapak,……,” sapanya dengan logat khas timur tanah air, lalu ia membuka helm.

Ah ….. Ray Sahanaya, rupanya. Dia orang Ambon tetangga saya, yang tinggal berjarak tiga rumah di sebelah. Dia mengontrak disana.

“Eh, eh …., begini Bapak, apa Bapak ada uang 10 juta di tangan?” tanyanya dengan logat Ambon yang kental.

“Maksudmu?” tanya saya. Saya harus memastikan pemahaman saya dulu, tentu saja.

 “Begini Bapak, beta mau jual semua barang di rumah Beta, Bapak. Beta jual 10 juta bapak. Termasuk motor baru ini, Bapak. TV, Kulkas, AC, kontrakan rumah, semua Bapak ambil. Bolehkah?” tanyanya.

“Wah, Ray …… jujur uangku hanya 6 juta. Inipun buat bayar hutang besok,” jawab saya, apa adanya.

Dia terdiam, lalu berkata, “Beta dapat kerja kapal, Bapak. Malam ini kapal so angkat jangkar. Jam sembilan kita so berlayar, Bapak. Beta dikontrak 3 tahun, Bapak. Gaji bagus 2500 dolar sebulan, Bapak. Beta harus cepat-cepat balik ke pelabuhan, Bapak.”

Dia terlihat berpikir sebentar dan kemudian berkata, “Ai…. baiklah, Bapak. Beta kasih Bapak semua. Bisa kasih 6 juta sekarangkah?”

“Ada,” jawab saya. Saya masuk ke dalam, 1 menit kemudian saya keluar dan memberikan uang 6 juta kepada Ray. Dia senang sekali. Giginya yang putih berkilat tak pernah hilang dari bibirnya.

Ray pun menandatangani tanda terima, serta 3 lembar kwitansi kosong untuk motor dan kunci kontrakan. Setelah itu dia pergi membawa tas dan berangkat naik ojek.

Saya terdiam. Memegang 2 kunci. 1 kunci rumah kontrakan, 1 kunci motor beserta surat-surat. Kemudian saya ke kontrakannya yang lebih luas sedikit dibanding rumah kontrakan saya. Cukup rapi untuk seorang bujangan. Barang-barangnya terawat.

Keesokan harinya, saya jual semuanya kecuali motor saya butuhkan untuk mengganti Honda Tiger saya, juga menutupi sebagian ongkos belajar ke beberapa tempat. Total saya memperoleh sisa uang 19 juta! Plus, rumah kontrakan yang masih 1 tahun lagi. Kebetulan saat itu kontrakan saya tinggal tersisa 2 bulan lagi.

Apa ini yang disebut Prosperity Consciousness?

Dengan uang 19 juta di tangan, rasanya saya ingin mengajak anak-anak main, walaupun hanya ke Ancol. Bukan main senangnya kedua anak itu. Di hari Minggu itu, kami sekeluarga berekreasi ke Taman Impian Jaya Ancol, mulai dari makan pagi di pantai, jalan-jalan ke Pasar Seni, lalu ke Dufan sebagai puncak acaranya.

Ketika pukul 10 pagi tiba di Pasar Seni, ada hal yang menarik perhatian saya, yaitu sebuah lukisan. Sebenarnya saya bukan penggemar, apalagi pengoleksi lukisan. Namun, lukisan bergambar wajah manis gadis mungil duduk di halaman rumah menatap pantai itu, memberikan pemandangan yang menakjubkan, menurut saya.

Saya menatap lama lukisan tersebut. Bunga di rambut, topi yang dikenakannya, semuanya menarik bagi saya. Sang penjual yang rupanya juga sang seniman pelukisnya pun menghampiri saya.

Saya bertanya, “Piro cak?” Saya tahu seniman itu orang Surabaya karena sedari tadi menggunakan bahasa Suroboyo-an ketika bicara dengan sesama seniman di sebelahnya.

“Telung yuto, Cak,” jawabnya singkat.

“Ah……. telung yuto larang, Cak!” Tiga juta mahal, kata saya. “Sak juta ae,” tawar saya sejuta sekenanya.

“Ngak iso, Cak,” katanya, lalu merengos membalik badan.

Saya pun pergi, jalan keluar untuk ke Dufan bersama anak-anak.

Setelah lelah bermain hingga pukul 5 sore, kami pun menuju kendaraan kami di parkiran. Ketika hendak naik mobil, terdengar suara memanggil dari kejauhan.

“Mas, Cak …..Hoiii!”

Saya pun menengok. Rupanya sang seniman tadi yang memanggil, lalu menghampiri saya dengan membawa gulungan kertas yang ternyata lukisan tadi.

“Mas, ini jadi Mas…, sak juta,” katanya sambil tersenyum polos.

Karena sudah keburu janji, akhirnya saya setuju. “Lek sak juta tak tuko,” kata saya (kalau satu juta saya bayar). Akhirnya saya ke ATM dan menarik uang untuk membayar lukisan itu.

Esoknya, Hari Senin, saya membuatkan bingkai untuk lukisan itu di sebuah toko pigura di bilangan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Dari sana saya dijanjikan Rabu pukul 9-an selesai, sudah bisa diambil.

Singkat cerita, lukisannya saya ambil pukul 10 dan saya bergegas pulang ke rumah saya di bilangan Bekasi Barat.

Setibanya di depan rumah ada, sebuah mobil terparkir dan saya tahu ini mobil sewaan teman istri saya. Dia pasti sedang mengambil baju pesanannya.

Dia adalah Freeda, seorang mahasiswa S3 dari Swedia yang sedang mengambil disertasi tentang keragaman Islam di Nusantara Indonesia.

Saya kenal sekali dengan Freeda. Dia berusia 26 tahun, single, cantik, mata biru, rambut pirang seperti artis Hollywood. Kalau di sini bisa dibilang mirip Sophia Latjuba, mungkin. Berbadan mirip peragawati, pintar, santun dan mengerti tata krama ketimuran.

Kalau dia ke rumah, yang mana istri saya punya usaha baju muslim dan bordiran, pastinya saya ikut nimbrung diskusi. Biasanya baru sebentar saja istri saya sudah sibuk mengusir saya untuk masuk ke kamar, Jangan lama-lama, katanya. Tapi ada benarnya juga sih, memang Freeda cantik kok.

Freeda pernah mengeluh, beberapa kali dia ke pesantren tradisional, banyak ulama dan ustadz yang menganjurkannya menikah. Dia bingung kenapa. Kalau melihat penampilannya, karena dia dari negara sub tropis, kemudian datang ke negara tropis yang lembab seperti Indonesia ini, busana yang dia kenakan memang agak terbuka. Mungkin supaya semilir angin masuk dan tubuhnya adem tidak kegerahan.

Iya, benar. Tubuh dia memang jadi adem. Tapi tubuh cowok seperti saya, ya kepanasan ekstra. Begitu juga para lelaki yang lain, terlepas dari ilmu agama apapun yang mereka miliki.

Karena itu, cara paling aman adalah dibuatkan baju longgar berbahan asli cotton (kapas) sehingga menyerap keringat dengan baik. Baju itulah yang dia pesan ke istri saya. Dan, hari itu pastinya dia sedang mengambil pesanan tersebut.

Saya masuk ke dalam dan langsung saya pajang lukisan tersebut tepat di depan pintu masuk. Jadi kalau pintu terbuka, semua orang pasti melihat lukisan gadis kecil bertopi dan berbunga di rambutnya, menatap indahnya pemandangan dari serambi rumahnya.

Selagi saya memandangi lukisan tersebut. Freeda lewat bersama seorang perempuan yang agak berumur. Rupanya itu ibunya.

“Hi, this is my mom. Mom, this is Wowiek, the house owner,” katanya.

He he, ge er juga saya dibilang pemilik rumah, padahal cuma ngontrak.

Saya memmerhatikan ibunya Freeda menatap lama lukisan tersebut dan berbalik bicara ke Freeda dengan bahasa yang tidak saya kenal, sepertinya bahasa Swedia.

Lalu, Freeda bertanya, “Well, Wowiek what is this?”

Saya bingung menjawabnya. Dengan pelan saya berkata, “A… painting?”

“Well, I mean, my mom asked me. Where do you get this painting?” tanyanya lagi.

Saya pun menceritakan singkat kejadian saya di hari Minggu kemarin. Lalu ibunya kembali berdiskusi dengan Freeda hingga akhirnya dia bertanya, “Do you sell, this painting?”

“No, Ma’am. I Love It. I just bought it,” jawab saya.

Saya lihat ekspresi kecewa di wajah sang ibu, lalu mereka kembali berdiskusi.

Freeda berkata dengan tegas, “Wowi’ek, apparently my mom insists…! If you sell it, she will pay you for ten thousand dollar.”

Saya terhenyak, dan sebelum sempat saya jawab, istri saya menyikut perut saya dan bilang, “Sure, ma’am. You can buy this painting.”

Seketika si ibu itu langsung tersenyum sumringah. Dia pun mengambil segepok lembaran uang seratus dolar dari dalam tasnya, lalu menghitung dan menyerahkannya sambil berkata, “Here’s 10.000 dolar for you. Would you please wrap it and roll it into plastic pipe?” I will take it as we come back from Jogja in couple of days. You can do that, can’t you?”

Demi uang sebesar itu, saya pun segera merespon, “Oh yes Ma’am. I will wrap it perfectly”. Dalam hati saya bertanya-tanya, kenapa dia ngotot sekali ingin memiliki lukisan ini. Akhirnya saya pun bertanya, “Anyway Ma’am. I was wondering, why do like this painting so much?”

Sang ibu tersenyum, lalu mencari-cari sesuatu dalam tasnya yang besar tersebut. Dari situ dia mengeluarkan sebuah dompet biru, kemudian dia menunjukkan sesuatu, sebuah foto usang dan tua. Begitu saya lihat foto tersebut, saya terkejut bukan main, karena mirip sekali dengan gambar dilukisan itu. Ya, 95 persen mirip!

Saya heran sekali. Dengan tersenyum bangga dia berkata, “This is me, when I was 5 years old, in my old house in Barcelona before I moved to Swedia later on and got married with Freeda’s father.”

Rupanya kemiripan lukisan itu mengingatkan dirinya yang pernah tinggal di Barcelona, di atas beranda rumahnya, menatap pemandangan lepas. Dengan bunga yang dipetiknya dan disematkan di antara rambut dan topinya.

Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau bukti lain dari Prosperity Consciousness?

Baca Juga : Sadar Kaya (Prakata)

Sumber : Buku SADAR KAYA

Karya : Mardigu Wowiek Prasantyo

Baca Tulisan Berikutnya : Lepaskan Beban yang Tak Perlu

Artikel yang Direkomendasikan